Sabtu, 17 Desember 2011

Tulisan Indah Menggugah

Content atau isi tulisan merupakan inti dari sebuah tulisan.

isi tulisan seperti apa yang akan membuat orang tertarik untuk tetap membacanya? menurut saya sebuah tulisan menarik dibaca oleh orang tertentu belum tentu akan menarik untuk
kalangan yang lain - tepat sasaran alias 'menggugah'.
jadi salah satu jalan untuk membuat tulisan anda menarik untuk dibaca adalah dengan membuat mereka/orang lain berfikir bahwa tulisan kita 'bernilai' bagi mereka. Salah satu cara membuat tulisan 'Bernilai' adalah dengan menulis artikel yang bersifat informatif, topik menarik, memecahkan sebuah masalah(memberi solusi), dan tentu saja ditulis dengan baik.

Dengan anda mampu membuat artikel yang menarik dan menggugah, di sini akan membawa kekuatan perubahan.

Jumat, 16 Desember 2011

Mahligai Socotra


Mahligai Socotra
(Inspirasi Spiritual Kekasih Allah)
By: Micdarul Chair El-Sharafy
Semilir hilir angin laut menambah indah pemandangan pagi pelataran Qalansiyah, sebuah desa antik
artistik. Ia tampak menawan bermandikan selaksa sinar mentari yang menyibak tabir gelap jubah fajar Subuh.
Oh... Serasa segar dan menyejukkan sekali.
Eksotika biru pantai Dihamri Marine itu tampak memikat mata, berhias buih putih gelombang ombak
seputih butir salju. Ia membawa hamburan setiap imaji menuju keajaiban pulau cantik ini. Burung Incana
mendendang kicau beritma musik alam, pelepah kelapa hijau terus menari-nari dan mendayu-dayu,
mengiringi langkah gontai perjalanan seorang nelayan paruh baya, berikat sorban merah di kepalanya dan
berwarna kulit khas Negro. Perlahan… dia mengayuh kemudi kayu di atas air jernih berbayang wajahnya
yang tampak lesu, melaju menerobos tumpukan batu koral merah bersama perahu kayu 473 KHA di tepi
pantai sana.
Socotra, pulau berbentuk seperti hewan bekicot, bulat oval ke atas. Daerah yang hanya berluaskan
3.625 km² dengan dua distrik kecilnya, Abd Al Kuri dan Hadibu. Terletak di Samudra Hindia, 190 mil dari
semanjung Aden, provinsi Hadhramawt, Yaman. Iklim koppen seperti umumnya gurun, curah hujan yang
ringan merupakan karakter tahunan pulau permata ini. Namun, berkat isolasi yang berkepanjangan dari dunia
internasional ditambah kondisi iklim yang kering, menciptakan adikarya spektakuler endemik flora dan fauna
yang tidak ditemukan di kawasan selainnya.
Salah satu flora yang paling menarik minat para pelancong dan turis ialah pohon Darah Naga
(Dracanea Cinnabari). Dia merupakan ikon khas pulau ini, berbentuk menyerupai payung raksasa. Konon
getah pohon ini digunakan penduduknya sebagai obat dari segala penyakit, pewarna ataupun bahan dalam
ritual sihir.
Sungguh menakjubkan, rasanya tak cukup untuk membahasakan fenomenanya. Gurat alamnya akan
membuat siapapun serasa tidak berpijak di bumi lagi. Tak heran pula, jikalau UNESCO menobatkan Socotra
sebagai situs alam dunia pada bulan Juli 2008. Segenap pesona tak lazim dimilikinya, membuat
ketidakpercayaan muncul di banyak benak, apakah pulau ini benar-benar ada??!!
*****
"Mateeeqq,, Mateeeqq!!"
Gendang telingaku menangkap suara keras memanggil-manggilku. Aku berpaling membelakangi
pemandangan hamparan biru pantai Dihamri Marine yang tengah kunikmati. Terlihat bayangan manusia
berlari kencang menuju tempat dimana aku duduk bersila, yaitu ujung bukit Detwah. Bayangan itu kian
mendekat, dekat dan semakin dekat. Ahhgg, ternyata dia adalah……..
"Huufftt, capek aku mencarimu, ya Mateeq! Aku telusuri penjuru sudut pantai ini. Eehhh, kamu malah
duduk santai disini."
Dia tak lain ialah Omar, sahabat karibku. Paras wajahnya terlihat lebih tua dariku, meski usiaku
terpaut jauh di bawahnya. Mungkin saja sebab terik siang matahari yang harus dia terjang kala mencari ikan,
hingga kulitnya gosong dan tampak lebih tua.
Lantas siapakah diriku??
Yah, aku adalah Mateeq Abdullah Saleh. Seorang pemuda berdarah arab, tinggi tegap layaknya
pemuda arab pada umumnya. Hanya saja kulitku nampak agak kekuningan, karena sebenarnya aku blesteran
melayu dari jalur ibu.
Setelah bapakku, Yaseen Fateh, memasuki usia jomponya. Aku menggantikan posisinya sebagai guide
para pelancong yang datang ke pulau Socotra. Yah, seperti inilah garis Tuhan yang harus aku tempuh.
Begitulah…..
"Oh maaf, Omar! Aku hanya ingin menghirup sejuknya udara pagi sembari menikmati terbitnya
matahari dari pantai Dihamri Marine. Emang ada apa, sampai kamu harus mandi keringat seperti ini?"
tanyaku selepas melihat mukanya banjir keringat.
Sambil terus mengipas-ngipaskan baju oblong hijau tuanya, dia menjawab.
"Bagaimana aku tidak kalang kabut kayak gini, sedangkan mereka menantimu lebih dari satu jam
tanpa jawaban kedatanganmu. Aku merasa sungkan sama mereka."
"Mereka? Siapa yang kau kehendaki dengan mereka, Omar?" responku penuh dengan kebingungan
terhadap penjelasannya.
"Heemm, pakai tanya segala. Siapa lagi kalau bukan para pasienmu, para pelancong dari Spanyol.
Sudah, gak perlu bertele-tele, ayo ke rumahku!"
Spontan, dia menggandeng tanganku. Diajaknya aku berlari langkah seribu, menyibak padang
rerumputan kuning savana bukit Detwah, menemui orang yang dikatakan "mereka" oleh Omar.
*****
Wow!!!
Nafasku dibuat ngos-ngosan, jantungku serasa ingin lepas gara-gara marathonnya. Ups, akhirnya
sampai juga. Kulirik jam digital Q&Q Superior perakku. Hanya lima menit, gila!! Perjalanan yang biasa aku
tempuh dengan durasi 13 menit, dapat dia jangka dalam masa sesingkat ini. Benar-benar…….
Rumah Omar sangat sederhana, terbuat dari tanah liat tak bercat sama sekali. Memang, kebanyakan
rumah di Socotra berasal dari tanah liat. Lebih adem ayem, mengingat minimnya curah hujan di pulau mutiara
ini, apalagi jikalau suhu udara di musim panas yang dapat mencapai 40 derajat Celcius, seumpama lidah
neraka yang menjilat-jilat bumi.
Dari kejauhan, aku melihat dua orang asing yang sedang asyik mondar-mandir sekitar halaman rumah.
Mungkin, merekalah yang dimaksudkan oleh Omar. Sepertinya mereka hanya berdua. Satu cewek muda
cantik, berkulit putih tulang khas Eropa, tinggi semampai dengan rambut pirang dikuncir kuda. Sedangkan
yang lainnya, bapak setengah baya, umurnya berkisar antara lima puluhan. Kepalanya botak, berkaca mata
bulat dan mengenakan jas putih ala profesor laboratorium. Dari perawakannya, mereka seperti para analis
biologi.
Setelah kurasa jarakku tak seberapa jauh, kusapa mereka sebagai salam penghormatanku.
"Hola carino!!1" ucapku memakai bahasa Spanyol yang sedikit aku kuasai berkat kursus satu bulan di
Oficina el Castellano Course, terletak di kota Aden, Provinsi Hadhramwt, Yaman.
"Aaahhhh, ¿ Habla usted el castellano ?2" mereka nampak keheranan ketika mendengar aku menyapa
dengan bahasa kebangsaannya.
"Un poco, como esta usted?3" balasku berbalik menanyakan keadaan mereka.
"Oh, muy bien4. Perkenalkan, nama saya Tom Sharman. Salah satu Doktor fakultas Biologi di Hambra
Medical University, California, USA. Dan ini anak perempuanku, Selvia Elizabeth. Dia tengah merintis
magister Fisika di Cambridge University, Britania," paparnya mengenalkan identitas diri beserta anaknya.
1 Hola carino!!: Selamat datang, wahai sahabat!
2 ¿ Habla usted el castellano ?: Anda berbicara bahasa Spanyol?
3 Un poco, como esta usted?: Sedikit, bagaimana kabar kalian?
"Masya Allah! Sungguh kalian orang hebat nan jenius. Saya, Mateeq Abdullah Saleh. Panggil saja
Mateeq. Saya hanya pernah mengenyam bangku pendidikan di Arbitha Ta'lim Islamiyya, Aden. Oh ya, ada
tugas penelitian laborat?" kubuka lembar pertanyaan.
"Tidak juga, kami hanya ingin melepas penat dari pelbagai aktivitas. Empat bulan lalu salah satu
teman kami melakukan risetnya disini. Namanya Peter Franc. Dialah yang mengenalkan kami tentang bumi
Socotra beserta ribuan eksotik fauna maupun floranya," jelasnya.
"Insya Allah, kita mulai petualangnya besok saja. Sekarang kalian istirahat dulu, biar tenaga kalian fit
untuk perjalanan besok, OK!" usulku kepada mereka, sekaligus menunjukkan kamar yang telah kusediakan
untuk mereka.
"Maaf, di pulau ini tidak ada hotel, ataupun villa. Pemerintah Yaman sangat begitu serius dalam
melestarikan keanggunan pulau Socotra, sehingga mereka tidak mengizinkan pembangunan fasilitas yang
nantinya justru akan memunahkan habitat disini.
Jadi, rumah tanah inilah satu-satunya yang dapat kami tawarkan kepada kalian sebagai tempat
persinggahan. Sekali lagi maaf, andai pelayanan kami kurang memuaskan kalian," lanjut penjelasanku.
"Mucho gusto de haberte conocido5, kamu benar-benar rendah hati. Kami telah merasa terhormati
dengan pelayananmu. Memang beginilah adanya. Nanti akan aku bukukan dalam diary hitamku, bahwa
seorang Doktor kebanggaan kota Los Angles pernah menginap di gua tanah, ha ha ha," tawanya lepas, seolah
tak menyiratkan kesombongan jas putih yang dikenakannya.
Alhamdulillah,,,
Bisikku dalam hati mengiringi hembusan lega nafas dan sunggingan senyum tipisku.
*****
"Mateeq, kita jalan ke pantai, yuk! Pasti panorama sunset sangat fantastik. Aku sudah izin papa, kok!"
celetuk Selvia secara tiba-tiba, mengagetkan aku yang tengah membaca Al-Qur'an di ruang tamu.
"Shadaqallahul 'adzim" aku akhiri bacaanku dengan penuh khidmat, menutup kemudian menciumnya
dengan penuh rasa cinta terhadap kitab mulia tersebut.
"Apa kamu gak hemat tenaga untuk perjalanan besok?" saranku kepadanya.
"Cuma sebentar, kok! Lagian aku kan pengen liat panorama sunset di pantai Dihamri Marine yang
selama ini hanya terdengar di daun telingaku saja. Mau yah, please!!" mintanya manja, wajahnya begitu
memelas hingga akhirnya meluluhkan sukmaku.
Jadilah aku berangkat dengannya menuju pantai Dihamri Marine dengan berjalan kaki, jarak pantai
dengan rumah Omar tak seberapa jauh. Selama perjalanan, aku diam seribu kata. Takut salah tingkat. Sampai
saatnya dia angkat bicara…
"Socotra, nama yang aneh tapi menyimpan siratan makna yang indah. Aku baru pertama kali ini
melihat panorama secantik ini," katanya takjub, menengok kanan dan kiri tanpa henti.
"Socotra, bukanlah nama yang aneh. Arti nama pulau ini sendiri begitu agung dan tentu saja sangat
merepresentasikan segala yang ada di sini. Socotra, menurut catatan terjemahan dari Periplus, nama Socotra
tidak berasal dari bahasa Yunani, tetapi berasal dari bahasa Sansekerta, "sukhadhara dvipa" yang berarti
"pulau kebahagiaan". Tak ayal lagi, segala yang dimiliki pulau ini sanggup membuat seluruh segenap insan di
seluruh permukaan bumi ini luruh dalam ketakjuban dan kebahagiaan," jelasku secara tegas.
4 Oh, muy bien: Oh, sangat baik.
5 Mucho gusto de haberte conocido: Aku sangat bahagia dapat berkenalan denganmu.
"Menurut sejarah yang pernah aku baca, penduduk pulau Socotra telah memeluk Kristen sejak tahun
52 setelah masehi. Pada abad 10, seorang ahli geografi Arab bernama Abu Muhammad Al-Hassan Al-
Hamdani menyatakan bahwa pada masanya, penduduk Socotra mayoritas memeluk agama Kristen. Konon
mereka juga telah mempraktekkan ritual sihir kuno.
Pada tahun 1507, armada Portugis mendarat di pulau ini dan menempati ibu kota Suq. Tujuan mereka
adalah untuk menghentikan perdagangan Arab dari Laut Merah ke Samudra Hindia serta untuk menghapuskan
aturan-aturan Islam dalam perdagangan tersebut. Namun, invasi Portugis ini tidak berjalan mulus karena
penduduk setempat menentang mereka. Pada tahun 1511, pulau ini dikuasai oleh Kesultanan Mahra, dan pada
periodenya pula Islam mulai menyebar menjadi agama masyarakat. 456 tahun kemudian, tepatnya pada
tanggal 30 November 1967, pulau Socotra menjadi bagian dari Republik Yaman Selatan, yang pada saat ini
telah berubah menjadi Republik Yaman," lanjutku memperdalam pembahasan.
Siratan mimik muka Selvia mengisyaratkan bahwa dia merasa puas akan keteranganku. Sampaisampai
ujungnya dia berkata…
"Bagaimana kamu mengetahui ini semua, padahal kamu sama sekali tak berpijak dalam jenjang
pendidikan formal?" tanyanya tak habis pikir.
"Selvia cantik!" pujiku akan anugerah kecantikan yang Tuhan lantingkan kepadanya.
"Dunia tak sempit yang kau kira. Tak seharusnya engkau menjadikan strata pendidikan sebagai tolak
ukur daya intelektual ataupun pengetahuan seseorang. Meski aku tidak mempunyai gelar sama sekali, namun
lecutan semangat belajarku tidaklah meredup, justru kian membara," jawabku tanpa sedikitpun keraguan.
Rona pipi puamnya memerah, dia terlihat salah tingkah mendengar pemaparanku. Merah, laksana batu
koral menghiasi tepi pantai Dihamri Marine. Merah, seumpama selendang senja yang menemani redupnya
mercusuar mentari. Dalam benak aku tersenyum takjub memandangi pesonanya. Subhanaallah!!
*****
Pagi yang cerah, seantero Socotra selaksa pesona nirwana. Anggun mendamai, kesan elok epilog
perjalanan perdana mereka. Mobil Land Cruiser Prado GX berwarna silver dengan plat nomor 8304
terpampang jelas di depan daun pintu kayu rumah Omar. Tom Sharman dan Selvia sedang sibuk menyiapkan
aksesoris yang akan dibawa, mulai dari Note Book Sony VAIO hitam hingga beberapa kepingan snack potato.
Aku sendiri hanya cukup mem-bontot secangklot kantong kain goni. Isinya tak banyak, sajadah, air mineral,
dan sebuah botol kecil getah pohon Darah Naga. Antisipasi, siapa tahu ada insiden darurat mendadak,
sehingga aku tidak perlu repot mencari obatnya.
Setengah jam dirasa cukup untuk suatu persiapan. Mereka mulai menaruh barang-barang di bagasi
yang masih kosong. Kemudian menempati kursi di belakang sopir.
"Este usted lista6?" tanyaku dengan nada penuh gelora.
Sontak, Tom Sharman dan Selvia sumriang gembira. Sebentar lagi mereka akan berkelana ke dunia
yang selama ini hanya buaian mimpi.
"Yuuuppppssss, ayo kita jalan!!!" sorak mereka hampir berbarengan.
Bismillah…..
Ucapku pelan, seiring mulai berputarnya roda mobil. Rute pertama ialah menuju Dogub Cave yang
terletak di distrik Hadibu, timur Socotra. Jarak antara Qalansiyah dengan Hadibu sangatlah jauh. Sebab harus
6 Este usted lista: Sudah siap?
melintasi Diksam Plateau, wilayah central Socotra. Lazimnya, perjalanan ditempuh dalam kurun waktu
sembilan jam. Mungkin sore hari baru bisa sampai di Hadibu, pikirku.
Aku melirik dari spion depan, kornea mata mereka tak kunjung berhenti mengagumi hamparan luas
rerumputan kuning savanna yang berada di sekelilingnya. Ekspresi kagum nan takjub. Indah mempesona.
Sungguh, adikarya Tuhan Yang Maha Agung!!!
*****
Tepat pukul empat sore, mereka tiba di bukit Ehwa, lokasi Dogub Cave. Perjalanan panjang
melelahkan. Namun, aku sama sekali tidak melihat aura letih pada wajah Tom dan Selvia. Mereka justru
sangat antusias melanjutkan petualangan ini.
Dogub Cave, sebuah gua yang masyhur akan ornamen serta dekorasinya. Terletak di atas bukit Ehwa,
Hadibu. Jalur menuju ke gua tidak mungkin untuk dilalui oleh mobil. Banyak bebatuan besar dan agak
menanjak. Oleh karenanya, aku putuskan untuk jalan kaki. Mereka setuju saja dengan arahanku, karena
akulah guide mereka.
Tom Sharman dan Selvia sangat berbahagia, mereka bernyanyi riang nan gembira. Sampai akhirnya
Selvia berteriak keras tanpa sebab…..
Aaaaaaahhhhhhhhhhgggggggg………
"Ada apa, Selvia??" tanyaku kaget, begitu pula papanya, Tom Sharman.
Dia tidak lekas menjawab. Duduk sembari memperlihatkan sepatu Nike hitamnya yang ternyata
terkena paku berkarat. Tidak terlalu besar, namun sangat berkarat. Tom Sharman bingung seribu keliling,
setelah sebelumnya dia bisa tertawa bebas tanpa beban.
"Bagaimana ini?? Apalagi pakunya berkarat?? Bisa-bisa kamu terkena tetanus, Selvia??" katanya
dengan nada serba bingung.
Aahhh, aku jadi teringat sesuatu di kantong cangklong goniku. Sebuah botol berisi getah pohon Darah
Naga. Segera aku cari dimana botol itu berada. Yess, ketemu. Aku serahkan botol itu ke Tom Sharman supaya
dia mengoleskan ke kaki Selvia.
Tanpa panjang kata, Tom Sharman mengoleskan getah tersebut ke kaki Selvia. Setelah dirasa agak
reda, Selvia digendong oleh Tom guna melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Tom baru ingat, kira-kira
obat apa yang aku berikan kepadanya. Gusar hatinya tak tertahankan, sehingga dia mencoba untuk bertanya
kepadaku…
"Mateeq, obat yang kamu serahkan kepadaku, itu sebetulnya apa?"
"Oh, Bapak tak perlu khawatir. Itu adalah getah pohon Darah Naga. Bapak mungkin lebih mengetahui
apakah penyakit titanus itu. Secara singkat dia merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat saraf dan otot dimana disebabkan oleh bakteri berspora yang disebut bakteri
Clostridium Tetani. Nah, getah pohon Darah Naga telah teruji mampu membunuh sekaligus memusnahkan
bakteri tersebut," jelasku singkat padat.
Tom Sharman hanya menganguk-angukkan kepalanya pertanda setuju akan pemaparanku. Dia terlihat
memikirkan apa yang barusan aku katakan. Entah apa yang tengah ada di benaknya. Aku membiarkannya
merenung. Aku membisu dan membisu sampai-sampai aku tak terasa bahwa aku telah sampai di depan Dogub
Cave seiring dengan redupnya cahaya sang pelita.
*****
Gua begitu gelap, Tom Sharman nampak bergegas membuka notebook Sony VAIO hitamnya. Secerca
tiga cahaya lampu senter yang menerangi atap-atap gua, menyibak dekorasi gua. Selvia berbaring, bersandar
pada bongkahan batu putih besar di belakangnya. Aku memberikan sedikit pengenalan tentang gua ini kepada
Tom Sharman yang sedari tadi menunggu aku untuk angkat bicara…
"Ornamen gua Dogub Cave ini penuh akan air terjun beku bak kristal yang kemudian dikenal dengan
istilah stalagmit, stalagtit," kataku sebagai kalimat pembuka.
"Jikalau kita menilik sejarah, gua mulai dipelajari serius sejak ditemukannya speleologi oleh Edward
Alferd Martel pada abad ke 19. Sampai kini, ilmu tersebut masih dipakai untuk mempelajari seluk-beluk gua.
Speleolog menyebut dekorasi gua dengan istilah speleothem. Nah, jenis speleothem yang berada di gua Dogub
Cave ini ialah berupa stalagmit dan stalagtit seperti yang aku katakan di awal tadi.
Stalagtit itu tumbuh dari atap sebuah gua menuju ke bawah yang terbentuk karena adanya rekahan
kecil pada tubuh batu gamping yang memungkinkan terjadinya tetesan air yang mengandung larutan kalsium
karbonat. Di saat itu terjadilah presipitasi sehingga terlepaslah karbondioksida dan terbentuk endapan bening
yang disebut mineral kalsit," panduku secara telaten.
Tom Sharman serius mendengarkan presentasiku. Sedangkan Selvia? Aku tidak mengetahui apakah
dia menyimak pembicaraanku ataukah tidak. Karena aku membelakanginya.
"Mineral kalsit tersebut lambat laun akan menetes. Tetesan yang berlebih dalam kurun waktu ribuan
tahun akan terakumulasi ke lantai dan membentuk dekorasi tersendiri. Dekorasi yang terbentuk dari tetesan
stalagtit inilah yang disebut dengan stalagmit, seperti apa yang berada tepat di depan anda," isyaratku untuk
melihat bongkahan bebatuan putih lancip yang berada di depannya.
Tom Sharman hanya mengeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya akan apa yang tengah dia
saksikan. Dia merasa heran kepadaku, dari mana aku mendapatkan pengetahuan sedetail itu, padahal aku tak
pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Dia melontarkan pertanyaan sama seperti apa yang diutarakan
Selvia ketika menikmati sunset di pantai Dihamri Marine. Dasar orang Barat, mengorientasikan kejeniusan
hanya dengan banyaknya gelar yang disandang. Huufftt, pekikku dalam hati.
"Biar putri cantikmu yang memberikan jawabannya" kualihkan sorotan lampu senter ke wajah Selvia
yang dari tadi duduk di belakangku. Dia nampak malu untuk berkata. Lesung pipinya membiaskan aura merah
yang pernah aku nikmati seiring dengan tenggelamnya mentari di pantai Dihamri Marine. Selvia, pesona
keanggunan bidadari dari ufuk barat.
*****
Malam semakin larut, aku pamit keluar untuk menunaikan shalat Maghrib dan Isya' secara jama'. Aku
membentangkan sajadah yang telah aku persiapkan.
"Allahu Akbar"
Konsentrasi khusyu' menghadap sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dzat yang telah
menganugrahiku Islam, yang mengkasihiku dimanapun aku berpijak, dan yang mengenalkan aku dengan
Socotra. Ya Allah, dalam keagungan Arsy-Mu, aku bersujud……..
*****
Selepas shalat aku tak langsung masuk ke gua. Aku memilih untuk menikmati keindahan bukit Ehwa
disaat malam hari. Kemerlip bintang mengubah cemerlang selendang hitam cakrawala. Burung Sparrow
Passer masih bebas menari berputar dalam irama simfoni malam. Krik krik jankrik bukit Ehwa
menghembuskan kesejukan di sukma. Socotra yang penuh ketentraman nan keharmonisan….
"Ehhhmmm, Mateeq! Aku boleh duduk di sebelahmu? Aku suntuk di dalam gua melulu," terdengar
suara lembut berada di dekatku.
SELVIA??!!! Aku kaget bukan kepalang! Bukankah kakinya masih sakit??!! Kenapa dia tiba-tiba ada
disini??!! Entahlah!! Akhirnya, ku persilahkan dia untuk duduk di sampingku.
"Kamu orang Islam yang taat pada aturan agama, yah?" Selvia mulai mengajakku ngobrol.
"Alhamdulillah, saya berusaha menjadi hamba Tuhan yang taat pada aturan-Nya. Kamu sendiri
beragama apa?" aku balik bertanya.
"Kristen Katolik. Kalo dalam agamamu namanya Nasrani. Sebenarnya, aku menaruh simpatik pada
Islam. Di Granada, tempat aku tinggal juga banyak muslim yang hidup harmonis dengan kami. Orangnya
sopan santun, penuh toleransi sesama, serta ramah. Tapi,,,,,," Selvia tak melanjutkan ucapannya, sehingga
membuatku agak sedikit kecewa. Akupun lantas bertanya.
"Tapi kenapa, Selvia? Kebanyakan dari mereka bersikap arogan?" tebakku guna memancing agar dia
kembali melanjutkan persepsinya tentang Islam.
"Aku harap engkau tak tersinggung, yah!" pintanya. Aku hanya mengangukkan kepala tanda setuju.
"Setelah aku menilik kandungan ajarannya, ternyata banyak yang mendiskriminasi kaum gender.
Semisal kecurangan dalam hak warisan, serta mengizinkan berpoligami dengan seenaknya. Islam sungguh
kejam. Tidak menjaga perasaan!!"
Dia agak naik pitam, nada bicaranya sangat tinggi. Aku sebagai muslim tidak terima agamaku dituduh
menodai kehormatan wanita. Kutenangkan jiwa, sebelum akhirnya aku berkata.
"Selvia, perkenankan aku memberi pengertian tentang itu semua kepadamu?" kataku dengan lembut.
Dia mempersilahkanku tapi membelakangiku, tanpa menoleh sama sekali kepadaku. Nampaknya dia agak
sedikit kesal.
"Dulu aku menyangka bahwa orang bergelar magister telah dapat membedakan mana air jernih dan air
seni. Ternyata dugaanku salah, mereka tak jauh seperti anak kecil yang gampang tertipu!" mendengar
ucapanku yang pedas, dia menatapku tajam. Bagai seekor singa yang hendak memakan mangsanya.
"Kalau kamu ingin membeli emas, janganlah tanya pada tukang barang rongsokan. Tapi, tanyalah pada
penjaga toko perhiasan. Akan aku buktikan padamu, bahwa pemahamanmu salah!!" kataku dengan penuh
keyakinan.
"Bermula dari tudungan dikriminasi hak warisan. Tendensi hukum warisan dalam Islam bukan
berdasarkan jenis kelamin, melainkan derajat seberapa dekatnya hubungan ahli waris ke mayit. Oleh
karenanya, putri mayit mendapat setengah harta warisan dibanding suami mayit yang cuma memperoleh
seperempat disaat berkumpul dengannya. Bukankah putri si mayit juga wanita?" tanyaku melihat rautan
amarahnya mulai surut. Dia hanya diam tanpa menjawab.
"Salah satu faktor mengapa di suatu masalah laki-laki mendapat lebih banyak, semisal bagian putra
mayit dua kali lipat dari putri mayit, ialah beban komersil yang harus di tanggung pihak lelaki, dia wajib
memberi nafkah kepada istrinya setiap hari. Itu dalam agama kami. Dan perlu saya tegaskan kepadamu,
bahwa hanya ada 4 masalah dimana bagian perempuan lebih sedikit dari bagian laki-laki. Aku tidak akan
memperpanjang pembahasan," aku mengakhiri poin pertama. Selvia mulai terlihat salah tingkah.
"Menuju tuduhan kedua, bahwa Islam tidak menghargai eksistensi perempuan dengan dihalalkannya
poligami. Mungkin, inilah letak perbedaan antaraku denganmu. Islam mengajukan sebuah asumsi cemerlang
dengan disyareatkannya poligami. Lelaki dapat menambah istri secara halal, tidak melalui zina yang berakibat
fatal. Lihatlah data statistik gender Amerika Serikat, yang pada tahun 1980, angka aborsi 1.553.000, 30 %
pemudi berumur 20 tahun, kemudian tahun 1982, 80 % pasangan pasutri yang telah mengarungi rumah tangga
selama 15 tahun mengalami perceraian, dilanjutkan pada tahun 1997, berdasarkan informasi lembaga
perlindungan wanita bahwa setiap 6 detik terjadi pemerkosaan. Sebab itulah 73 % fakir miskin berupa
perempuan, 85 % dari mereka hidup sebatang kara.
"Salah satu solusi menurut Gustav Lebonn, dan Annie Besant ialah dengan poligami, sesuai dengan
apa yang telah dianjurkan oleh Islam. Meski adil secara hakiki itu sulit, namun Allah Maha Pengampun.
Masih ingin dalil lagi untuk menyakinkanmu, Selvia?"
Dia tidak menjawab. Sayup-sayup aku mendengar isak tangis yang tertahan.
"Selvia, kamu menangis? Maaf andai perkataanku menyayat hatimu," jujur, aku tidak tega melihatnya
menangis. Tapi, benarkah ucapanku terlalu kasar, sehingga membuatnya sakit hati? Adakah aku menghina
umat Kristiani? Sungguh, aku tak bermaksud menyembilu hatimu dengan pisau lisanku, Selvia….
*****
Aku masih tak paham mengapa dia menangis. Aku merasa tidak enak kepadanya. Tiba-tiba, Selvia
tersenyum sembari matanya yang mengkilat bak kilauan kaca.
"Terima kasih, Mateeq. Engkau telah membangunkanku dari tidur panjangku," katanya serak.
Aaahhggg,,,
Aku merasakan benda halus nan lembut menyentuh kulit tanganku. Astaga!! Tanganku dipegang
olehnya.
"Mateeq, kamu sudah mempunyai seorang pacar??"
Bulu kudukku serasa merinding. Badanku panas dingin. Tanganku gemetar. Hatiku bergejolak
mendengar pertanyaannya. Aku seperti bukan aku yang biasanya. Perasaan aneh menyelimuti diriku. Apakah
ini yang dimaksud dengan jatuh cinta?? Benarkah aku telah menaruh hati padanya??
"Mateeq, kok malah diam?! Jawablah!!" tegurnya melihat aku tak kunjung memberinya jawaban.
"Pengen tau saja, memang kalau aku belum punya pacar, kamu mau jadi pacarku??" jawabku
sekenanya, mencoba menghilangkan rasa grogi. Perlahan, kulepas pegangan tangannya.
"Bener nih, entar malah aku ditolak mentah-mentah," candanya, biasan wajahnya nampak teduh.
"Hanya orang buta yang menolak tawaran wanita secantikmu, Selvia. Dan sesungguhnya orang buta
itu adalah aku, sebab aku hanya akan menaruh cinta tulusku dengan seorang kekasih yang telah terikat dalam
bingkai suci pernikahan"
Pandangan matanya menatapku syahdu. Senyuman manisnya menyeka bibir merah jambunya. Untuk
kesekian kali, lesung pipinya memerah. Rambut pirangnya terurai, meliuk-liku, mengikuti hilir angin malam
bukit Ehwa. Selvia, mutiara selaksa pesona….
*****
Esok harinya, kami melanjutkan perjalanan menuju pegunungan Skund. Lokasi pohon Darah Naga
atau Dracaena Cinnabari tumbuh subur. Jarak dari bukit Ehwa berkisar sekitar 40 kilo. Dengan kecepatan
180 perjam, tibalah mobil Land Cruiser Prado GX kami di pegunungan Skund setelah satu setengah jam
perjalanan. Lagi-lagi, Tom Sharman dan Selvia Elizabeth terkagum-kagum menyaksikan eksotik pegunungan
Skund yang penuh dengan payung atau jamur hijau raksasa.
"Inikah pohon Dracaena Cinnabari yang dikatakan oleh Peter Franc itu? Pohon yang hanya hidup di
pulau Socotra ini? Very beautiful!!" kata Tom Sharman ketika membongkar tumpukan batang pohon Darah
Naga. Selvia tak banyak bicara, dia sekedar berkeliling mengitari pohon tersebut.
"Tanaman ini merupakan ikon kebanggaan penduduk Socotra, bahkan seluruh Yaman. Uang logam 20
Reyal Yaman juga bergambar pohon Dracaena Cinnabari. Pada bulan Juli 2008 lalu, UNESCO resmi
menobatkan Socotra sebagai salah satu situs warisan alam dunia," sambutku mengawali tugasku sebagai guide
mereka.
"Lantas kenapa pohon ini dijuluki Darah Naga?" sambung Selvia.
"Sebetulnya julukan Darah Naga diambil dari getah pohon ini yang berwarna merah darah, persis
seperti pohon Dracaena Draco dari kepulauan Canary, Spanyol.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa dahulu kala ada seekor ular balistik yang besar sehingga
dianggap naga. Suatu hari naga itu berkelahi dengan seekor gajah dan keduanya mati. Kedua binatang itu
mengeluarkan darah. Nah, darah inilah yang kemudian dipercaya memiliki kekuatan mistik. Ketika darah
kedua binatang ini bercampur, tumbuhlah sebuah pohon yang kelak disebut dengan Dracaena Cinnabari."
Selepas mendengar ceritaku, Selvia pamit untuk menyajikan sarapan pagi. Tom Sharman melanjutkan
perbincangan mengenai Dracaena Cinnabari. Berkaitan dengan faedah dan fungsinya, penemu pertama
kalinya, dan… dan… dan… Sampai akhirnya Selvia mempersilahkan hidangan yang telah siap saji. Kami
beralih ke tikar bambu kuning, tempat Selvia menghidangkan sarapan.
Waahh!!!
Biskuit caramel dan teh hijaunya membuat aku menelan ludah berkali-kali. Jujur saja, perutku
keroncongan sejak tadi pagi. Mungkin gara-gara aku begadang suntuk tadi malam bersama Selvia. Kuhirup
dalam-dalam aroma teh hijau. Aahhh, rongga pernafasanku terasa segar.
Ditengah aku menikmati menu sarapan, Tom Sharman berbisik ke daun telinga Selvia. Nampaknya
sangat privasi. Akupun tak mau mengusik ketenangan mereka. Berkali-kali Selvia menggeleng-gelengkan
kepalanya, dia seperti orang kebingungan, takut, dan malu. Sebelum akhirnya Tom Sharman menepuk pundak
putri tersayang, Selvia Elizabeth, tanda percakapan privasi mereka telah usai.
Selvia merunduk malu ketika melintas di depanku, tidak biasanya dia seperti itu. Seakan ada sesuatu
ganjil terjadi. Tapi apa?? Gusarku dalam hati. Aahhgg, biarlah! Mungkin dia habis kena marah papanya.
*****
"Mateeq, bisa kamu kesini sebentar?" panggil Tom Sharman yang letaknya memang agak berjauhan
selepas dia berbicara privasi kepada Selvia. Aku segera memenuhi panggilannya.
"Aku ingin bertanya kepadamu, Mateeq. Sebagai orang dewasa, apakah kamu tidak terbesit di
pikiranmu untuk menikah?" tanya Tom memulai obrolan.
"Sebetulnya aku ingin sekali menikah, mengingat umurku yang telah mencapai 25 tahun. Namun, aku
rasa masih belum waktunya. Hanya aku satu-satunya harapan abah yang telah jompo. Yah, tidak ada lagi
selain aku. Makanya, aku tak berani nikah sebelum pekerjaanku mapan. Lagian siapa juga yang mau sama
orang bodoh, tak berpendidikan seperti aku, Tom," desahku dengan nafas panjang.
"Andaikata ada wanita cantik yang jatuh hati kepadamu, lantas meminta agar kau meminangnya. Apa
kamu mau, Mateeq?" lanjut Tom dengan pertanyaan berikutnya.
"Tergantung. Kalau benar cintanya tulus dari lubuk hati yang paling dalam, serta mampu menerima
keadaanku apa adanya, apa salahnya tidak diterima," jawabku santai.
"Dan jikalau wanita cantik itu adalah Selvia Elizabeth, putri tersayangku. Apakah engkau akan
menerimanya?"
Haaahhh!!!!
Selvia menaruh cinta padaku??!! Mustahil. Bukankah kita baru bertemu??!! Aku rasa ini hanyalah
mimpi. Hatiku serasa belum siap mendengar pernyataan Tom Sharman, bapak kandung Selvia Elizabeth.
"Mateeq, saudaraku! Selvia telah banyak bercerita tentangmu. Mulai dari dia pertama kali bertemu
denganmu, di pantai Dihamri Marine, hingga perdebatan tadi malam di Dogub Cave. Awal mulanya, aku
menganggap dia bercanda. Namun, lama kelamaan aku menyadari bahwa putriku memang benar-benar telah
jatuh hati kepadamu, Mateeq.
Kesederhanaan, kelembutan hati dan pengetahuanmu membuatnya hatinya luluh, setelah sekian lama
dia tidak menggubris apa yang dinamakan cinta. Orientasinya hanyalah skripsi, predikat cumlaude, dan
sukses. Namun, setelah dia mengenalmu semuanya menjadi berubah 180 derajat.Aku turut berbahagia melihat
dia jatuh cinta. Aku jadi ingat kenanganku bersama ibundanya yang telah wafat setahun yang lalu."
Kini, kelopak mata Tom meneteskan air mata. Aku terharu mendengarkan kisahnya, tapi aku masih
ragu untuk menerima Selvia sebagai calon istriku.
"Jadi, bagaimana? Akankah engkau bersedia menerimanya sebagai calon pendamping hidupmu?"
untuk yang kedua kalinya dia bertanya dengan soal yang sama.
Bismillah, semoga pilihanku sejalan dengan agamamu, Ya Rabb! bisikku dalam benak.
"Aku bersedia menerimanya dengan dua syarat. Pertama, tanyalah Selvia, apakah dia siap memiliki
seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa aku. Aku ini orang miskin. Anak seorang tua jompo
miskin di daerah pelosok Socotra," jawabku terbata-bata sambil terisak. "Apakah aku kufu dengannya? Aku
merasa tidak pantas bersanding dengan putri cantikmu itu. Aku tidak ingin dia kecewa di belakang hari,"
lanjutku.
Belum sempat aku melanjutkan syarat yang kedua, Tom Sharman memanggil Selvia yang sedari tadi
bersembunyi dibalik pohon Dracaena Cinnabari. Tom menjelaskan syaratku yang pertama. Selvia menghela
nafasnya, kemudian berkata.
"Mateeq, memang belum lama aku mengenalmu. Namun, entah mengapa engkau mampu memberi
warna lain dalam relung hidupku. Hidup dalam karat gempita dunia, engkau tegar tak bergeming, sederhana
dan rendah diri. Terkadang aku iri padamu, gelar yang telah aku perjuangkan mati-matian selama bertahuntahun
tak kunjung mendewasakanku akan makna hidup ini. Pengetahuanmu juga luas, bahkan aku sampai
malu ketika kau menyindirku tadi malam dengan sebutan anak kecil yang gampang tertipu. Aku mulai
menyadari bahwa engkau adalah mutiara yang terpendam di dasar laut. Dan aku berharap dapat memperoleh
mutiara itu, meskipun aku harus tenggelam dan mati."
Aku memandang ke arah Selvia, pada saat yang sama dua matanya yang bening juga sedang
memandang ke arahku. Pandangan kami bertemu. Dan ces!! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku.
"Lantas syarat keduamu apa, Mateeq?" perkataan Tom menyadarkanku. Sungguh, sukmaku begitu
terpaut akan aura fenomenalnya.
"Dalam syareat Islam, tidak diperkenankan seorang muslim menikah beda agama, kecuali dengan ahli
kitab. Sekarang, akankah engkau bersedia memeluk agama Islam demi perjuangan cintamu?"
Kali ini, Selvia nampak bingung. Keningnya mengerut, memikirkan sesuatu. Mungkin, syarat kedua
terlalu berat baginya. Suasana hening menyelimuti. Tak hentinya dia menatap Tom Sharman, papanya.
Berharap semoga bapaknya memberi solusi terbaik. Tom mengangkat wajahnya setelah sekian lama
menunduk merenung. Raut wajahnya tampak damai nan sejuk, seraya berkata.
"Selvia, kamu berhak menentukan jalan hidupmu. Apapun agamamu, kamu tetap anakku, Tom
Sharman," Selvia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, matanya kian berkaca.
Dia lantas menatapku dengan sorot mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasanya.
Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa dia mengatakan…
"Bagaimanakah aku menjadi seorang muslim?"
Kubimbing dia untuk melafadzkan….
Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!
"Aku bersaksi bahwa Allah adalah Tuhanku, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya"
Atas saran Tom Sharman serta bantuan saksi dua petani di sekitar lokasi, kami langsung menggelar
akad nikah di bawah naungan pohon Dracaena Cinnabari dengan mengikuti madzhab Hanafi yang tidak
mensyaratkan adanya wali nikah. Tom Sharman tidak berhak menjadi wali sebab dia beragama Kristen.
Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubun-ubun kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf
tubuhku. Wajah Selvia putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah! Aku cium keningnya, seraya
berbisik lirih di daun telinganya…
"Tak kusangka aku mempunyai seorang bidadari secantik dirimu, Selvia. Sekarang aku halal bagimu,
sebagaimana kamu halal untukku."
Langit Socotra membiru laksana hamparan biru pantai Dihamri Marine. Burung Incana berkicau
mentasbih Tuhannya. Dalam naungan pohon Dracaena Cinnabari, aku bercinta penuh syahdu, maha suci
Engkau wahai sang pemilik cinta!
TAMAT